Eka Surya Online

Archive for April 2010

I Dewa Putu Subamia

Program Studi Pendas Konsentrasi IPA (staf laboran Jurusan Pendidikan Kimia)

Program Pascasarjana Undiksha

ABSTRAK

Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberi wawasan mengenai pentingnya pembelajaran taksonomi “taru usada” dan “upakara” dalam melestarikan taksu lingkungan berwawasan kearifan lokal. Selanjutnya, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran (awarenes) masyarakat agar senantiasa menjaga kelestarian lingkungan Bali yang berwawasan agama dan budaya. Wawasan agama dan budaya (Hindu) merupakan spirit yang menjadi “taksu” bagi lingkungan (Jagat Bali). Pembelajaran yang dimaksud adalah melalui pengintegrasian etnotaksonomi tumbuhan usada dan upakara dalam pendidikan berwawasan lingkungan. Pendidikan berwawasan lingkungan diharapkan mampu menghasilkan masyarakat yang cerdas lingkungan yang memiliki kompetensi tanggap (responsive) dan peduli (aware) terhadap lingkungan serta perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Pendidikan ini dapat dijadikan sebagai salah satu upaya alternatif dalam menjaga kelestarian lingkungan berwawasan kearifan lokal. Selanjutnya, diharapkan dapat bermanfaat sebagai penyulut dan pendorong suatu tindakan pembudidayaan tanaman secara serius. Dari segi praktis tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan secara keseluruhan.

Kata-kata kunci: taksu lingkungan, usada dan upakara, etnotaksonomi, kelestarian lingkungan, pendidikan berwawasan lingkungan.

ABSTRACT

The article aimed to give knowledge about the importance of taxonomy learning of  “taru usada” and “taru upakara” to remain spirit of environmental that based on local wisdom oriented. Also, expected to improvement a society awareness to keep the continuous of Balinese environment based on religion and culture. The religion and culture were spirit that became a power “taksu” of Balinese environment. These lessons mean was integrating of etnotaxonomy “tumbuhan usada” and “upakara” in school curriculum. Environmental education expected to make the society became literate on their environment that had responsive competence and aware of their environment and also environment changed that were happened. This education could be used as an alternative effort in continuous of environmental. Leader, that was expected to be able to motivate and support an action of a serious plantation. In the practiced, this article was expected to decision making on management of environment in whole.

Key words: taksu of enveronmet, usada and upakara, etnotaxsonomy, to remain of environmental, education based on enveronmental.

Oleh: Dewa Sastrawidana, staf dosen Jurusan Pendidikan Kimia, Undiksha

Abstrak

Pencemaran lingkungan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah pembangunan industri yang tidak berwawasan lingkungan. Di satu sisi, pembangunan industri ditujukan untuk kesejahteraan manusia, di sisi lain produksi limbah industri sangat banyak mengancam kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan industri saat ini masih kontroversi. Untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif tersebut, diperlukan konsep pembangunan industri yang berintegrasi dengan perlindungan lingkungan. Salah satunya adalah mewajibkan setiap industri untuk mengelola limbah yang berpotensi menimbulkan dampak penting sebelum dibuang ke lingkungan.

Inovasi pengolahan limbah cair ke arah peningkatan efisiensi, murah dan ramah lingkungan merupakan suatu tuntutan. Hal ini disebabkan kondisi industri yang ada di Indonesia dan di Bali khususnya hampir sebagian besar berkatagori skala kecil- menengah. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, para ilmuwan secara intensif melakukan berbagai kajian teknologi pengolahan limbah cair baik menggunakan cara kimia, fisika dan biologi. Hasil kajian tentang pengolahan limbah cair menggunakan cara kimia, fisika dan biologi menunjukkan bahwa metode kimia dan fisika memang terbukti ampuh dalam merombak limbah cair seperti limbah tekstil dan limbah logam berat. Namun, metode ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya (a) memerlukan biaya pengolahan besar, (b) menimbulkan permasalahan baru bagi lingkungan, dan (c) kurang ramah lingkungan. Melihat kelemahan tersebut, inovasi pengolahan limbah cair saat ini diarahkan pada penggunaan mikroorganisme maupun tumbuhan air (fitoremediasi).

Salah satu teknologi bioremediasi pengolahan limbah cair yang prospektif adalah teknologi biofilm. Nilai strategis bioremediasi limbah cair menggunakan biofilm adalah (a) mikrob lebih resisten terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim, (b) Lebih efisien nutrisi, (c) Washout bakteri dapat diminimalkan bilamana menggunakan konsorsium bakteri dan (d) Reaktor dapat digunakan secara berulang-ulang sehingga low cost dan dapat digunakan secara berkelanjutan.

Dalam makalah ini akan diuraikan prosfektif teknologi biofilm dalam aplikasinya untuk bioremediasi limbah cair dalam mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan.

Oleh: I Wayan Suja, staf dosen Jurusan Pendidikan Kimia, Undiksha

Abstrak

Depdiknas memiliki mimpi besar untuk menciptakan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif” pada tahun 2025.  Mungkinkan kita mampu berkompetisi secara global jika kita hanya berperan sebagai konsumen ilmu dan teknologi Barat?  Tidak hanya content, konteks pedagogi sains yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan juga diadopsi dari Barat.  Keadaan ini menyebabkan pembelajaran sains di sekolah sangat mungkin berpotensi menimbulkan ketidakcocokan (clash) dan konflik internal pada diri siswa (Subagia, 1999; Jegede, 1995; Suja, 2008 dan 2009).

Untuk mengantisipasi hal itu, perlu dilakukan penggalian dan rekonstruksi model-model pembelajaran asli (indigeneus pedagogy) berbasis budaya lokal.  Dengan demikian, siswa akan dapat mempelajari ilmu-ilmu asing dengan tata cara tradisinya sendiri.  Hal ini sejalan dengan pemikiran, bahwa tidak ada suatu cara baru yang diimpor dari luar mampu memecahkan masalah secara tuntas.  Untuk itu, dalam tulisan berikut akan dipaparkan model pembelajaran sains, khususnya kimia, yang telah dikembangkan oleh penulis dari hasil penggalian terhadap cara belajar sains masyarakat Bali.  Masyarakat Bali memiliki kearifan lokal (local wisdom) untuk mengenal lingkungan alamiahnya melalui empat cara, sehingga disebut Catur Pramana, yakni pengamatan langsung (pratyaksa pramana), penalaran (anumana pramana), pemodelan dan analogi (upamana pramana), dan penerimaan informasi dari orang lain (sabda pramana).

Setelah mempertimbangkan karakteristik ilmu kimia, yang selalu melibatkan aspek makroskopis, mikroskopis, dan simbol, penulis telah mengembangkan model pembelajaran yang yang berbasis Siklus Belajar Catur Pramana.  Aspek kimia yang bersifat makroskopis (kasat mata) mudah diajarkan dengan cara pratyaksa pramana.  Aspek mikroskopis diajarkan dengan anumana pramana.  Aspek simbolik partikel materi, yang sangat diperlukan untuk menjelaskan sifat materi, dapat dijelaskan dengan bantuan model atau analogi, yang secara umum disebut upamana pramana.  Selanjutnya, fenomena makroskopis atau yang sudah ada di buku dan akrab dengan siswa karena ada di lingkungannya dapat dijelaskan dengan sabda pramana.

Model pembelajaran memiliki lima unsur, yaitu sintaks, sistem sosial, prinsip kegiatan, sistem pendukung, serta dampak pembelajaran dan dampak pengiring (Joyce & Weil, 1996).  Sintaks Model Siklus Belajar Catur Pramana terdiri dari empat langkah, dengan urutan tergantung pada model siklus belajar yang dipilih.  Pemilihan siklus belajar mempertimbangkan karakteristik materi ajar. Sebagai contoh, konsep-konsep kimia yang bersifat prosedural eksperimentatif dan kasat mata potensial dijelaskan dengan siklus belajar PAUS (pratyaksaà anumana à upamana à sabda), menggunakan metode induktif; sebaliknya konsep-konsep deklaratif yang didukung oleh fenomena makroskopis disarankan untuk diajarkan dengan siklus belajar SAUP (sabdaà anumana à upamana à pratyaksa), mengikuti metode deduktif.  Sistem sosial yang berlaku dalam pembelajaran berbasis Catur Pramana adalah sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai budaya Bali, seperti kerja sama, peran aktif siswa, kesetiaan kepada guru, ketekunan, keharmonisan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Selama proses pembelajaran berlangsung guru harus berperan sebagai fasilitator, mediator, dan pembimbing agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dalam kondisi yang kondusif. Dengan demikian, guru akan menganut prinsip tut wuri handayani, sedangkan siswa yang aktif belajar dan bekerja (student centered).  Pembelajaran yang dilaksanakan harus didukung dengan ketersediaan peralatan dan bahan-bahan kimia, fasilitas laboratorium, media pembelajaran (seperti molymood), RPP, LKS, dan perangkat asesmen secara memadai. Dampak instruksional yang disasar berupa pencapaian kompetensi-kompetensi tertentu, seperti: melakukan pengamatan, merumuskan hipotesis berdasarkan hasil penyelidikan, memahami hubungan struktur mikroskopis dengan sifat materi, membuat model mikroskopis partikel materi, dan meningkatkan hasil belajar siswa.  Selain dampak langsung, implementasi model siklus belajar Catur Pramana diharapkan memiliki dampak iringan berupa sikap ilmiah siswa, atmosfer akademik yang semakin kondusif, kecintaan terhadap nilai-nilai luhur budaya asli, dan lain-lainnya.


April 2010
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930  

Flickr Photos

RSS Cari Duit

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.